Ramadhan tiba. Ada yang gembira dengan tibanya Ramadhan, ada yang biasa-biasa saja dan ada pula yang susah dalam menyambut ramadhan. Orang yang gembira menganggap Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Karena di bulan ini, al-Qur’an pertama kali diturunkan. Kalau berkah diartikan dengan tambahan kebaikan, maka bulan ini pantas disebut bulan penuh kebaikan. Banyak orang puasa di siang hari dan mengaji sampai malam hari adalah indikator yang bisa segera terlihat oleh mata. Juga, kita bisa melihat orang-orang melakukan sholat sunnah taraweh yang jumlah rokaatnya saja sudah banyak. Di hari-hari biasa, sholat sunnah dua rokaat saja sudah jarang dilakukan. Apalagi sampai dua puluh rokaat. Ramadhan juga merupakan bulan latihan ruhani. Bagi para pencari tuhan (keruhanian), bulan ini merupakan bulan yang paling tepat untuk muhasabah dalam perjalanan ketuhanan. Ada seorang kyai di Jember, pernah bercerita kepada penulis bahwa bagi para pencari atau orang yang melakukan suluk ketuhanan, penajaman ilmunya di bulan romadhan. Akan tetapi, untuk perdukunan, penajaman ilmunya di bulan sura. Cerita ini juga yang membuat penulis, merindukan bulan Ramadhan segera datang. Karena di bulan inilah, penulis mempunyai kesempatan untuk mengasah batin dalam menuju kepada tuhan.
Dilihat dari segi ekonomi, bulan ramadhan juga bulan yang menggembirakan bagi para pedagang. Banyak dagangan laku terutama makanan dan pakaian. Menjelang buka, banyak orang mencari makanan untuk berbuka. Segala makanan yang digelar di pinggir jalan, dibeli oleh orang yang mau berbuka. Penulis pernah melihat di Alun-alun di Bangkalan Madura, semua makanan yang dijual di tempat itu, laku. Penulis berpikir, bagaimana bulan ini memang memberikan banyak keuntungan juga bagi penjual makanan. Kalau penjual pakaian, maka panen rayanya adalah bulan ramadhan. Apalagi menjelang idul fitri. Walaupun pedagang-pedagang itu, penulis tidak yakin bahwa mereka gembira dengan bulan ramadhannya. Akan tetapi kegembiraan mereka didasarkan pada dagangan mereka yang laku keras.
Dalam tulisan ini, penulis ingin membicarakan tentang hadis kegembiraan dalam menghadapi ramadhan. Karena ada sebuah pertanyaan dari jemaah pengajian penulis tentang hadis yang menyatakan bahwa barang siapa yang gembira dengan datangnya ramadhan, maka orang tersebut dibebaskan dari apa neraka. Banyak orang yang tidak setuju dengan hadis ini, ujarnya. Para pentahrij hadis mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Artinya, mereka tidak pernah menemukan hadis ini di dalam kitab-kitab hadis yang mereka temui. Mereka juga tidak pernah menemukan di maktabah syamilah yang terkenal dengan rangkuman kita-kitab klasik sampai modern. Hal ini penulis jumpai di semua argumentasi tulisan yang menolak kesahihan hadis ini. Mereka mengatakan bahwa hadis ini hanya dijumpai di dalam kitab durrotun nasihin. Pengarang durratun nasihin bukan ahli hadis tapi ahli hikayat. Alasan selanjutnya adalah dari segi akal. Mereka menganggap hadis ini tidak masuk akal. Karena begitu gampangnya orang masuk surga gara-gara hanya gembira dengan datangnya bulan ramadhan. Menurut mereka; kalau memang demikian, cukup gembira saja dengan datangnya bulan ramadhan, tiket surga sudah bisa didapat. Lalu bagaimana dengan ibadah lainnya yang ditinggalkan orang tersebut?
Penulis ketika mendapatkan pertanyaan ini, tiba-tiba muncul di benak penulis yang menolak argumentasi mereka. Pertama yang muncul dalam ingatan penulis adalah Imam Ghazali. Kitab ihya’ Imam Ghazali paling banyak mendapatkan kritik tentang hadis-hadis yang ada di dalam kitab ihya’. Mungkin, alasannya sama. Mereka banyak menemukan hadis di dalam kitab ihya’, tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadis. Akibatnya, orang-orang yang belajar tentang sahih dan tidaknya sebuah hadis, langsung mengklaim bahwa hadis yang terdapat di dalam kitab ihya’ adalah hadis doif. Hadis yang lemah dan bahkan banyak yang menganggap palsu. Namun mereka lupa bahwa Imam Ghazali berbeda dengan ahli hadis dalam mendeteksi hadis-hadis yang benar-benar berasal dari rasulullah. Ketika Imam Ghazali menjumpai sebuah hadis, kemudian Imam Ghazali menciumnya. Kalau hadis yang dicium itu harum, maka Imam Ghazali berkeyakinan bahwa hadis itu berasal dari rasulullah. Namun metode al-Ghazali tidak ilmiah. Sehingga metode ini tidak dianggap shahih karena tidak bisa diverifikasi.
Kedua, mereka tidak tahu, bahwa banyak salafuna sholeh, bisa berhubungan langsung dengan rasulullah. Di masa modern ini saja, habib lutfi pekalongan bisa berhubungan dengan rasulullah langsung apalagi ulama dulu. Husnudhon saya, para ulama dahulu lebih memungkinkan bagi mereka untuk bertanya langsung kepada rasul. Dalam hikayat-hikayat banyak diceritakan bahwa ulama-ulama yang sangat dekat kepada Allah, tidak hanya bisa berhubungan langsung dengan rasulullah, bahkan mereka bisa berhubungan langsung dengan Allah. Bahkan syeh Tijani, pendiri tarekat Tijani, mendapatkan sholawat fatih langsung dari langit. Apakah dengan demikian, sholawat fatih kemudian tidak boleh diamalkan, yang mamfaatnya jelas-jelas nyata bagi pengamalnya. Dan penulis percaya, pengarang kitab durratun nasihin, yang kitabnya begitu banyak dibaca di pesantren-pesantren besar, yang para pendirinya terkenal kasyaf, kalau kitab durratun nasihin penuh dengan kebohongan, maka pendiri-pendiri pesantren itu sudah pasti tidak akan membolehkan santrinya untuk membaca kitab tersebut.
Lagi pula, kalau kita mengamalkan hadis doif, bahkan palsu sekalipun, kalau untuk kebaikan, maka bagi penulis tidak ada masalah. Kalau pun terjadi masalah, bukan pada orang yang mengamalkan. Akan tetapi masalahnya terletak pada orang yang menyebarkan kepalsuan hadis. Dalam sebuah hadis, nabi pernah mengatakan bahwa barang siapa yang membuat-buat sesuatu, bukan dariku, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka. Menurut hemat penulis, ancaman hadis ini bukan kepada orang yang mengamalkan hadis yang dipandang palsu tadi, akan tetapi kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.
Sanggahan penulis bagi orang yang menganggap bahwa hadis ini tidak masuk akal, adalah bahwa orang-orang itu lupa dengan keluasan rahmat Allah. Kita memang tidak bisa menyepelekan ibadah yang lain, namun juga tidak perlu menyepelekan orang yang tidak pernah ibadah tapi gembira dengan datangnya bulan ramadhan. Sekali lagi penulis tidak menyepelekan perintah Allah yang lain. Tapi penulis tidak mengabaikan luasnya rahmat Allah kepada hambanya. Karena yang berkuasa atas hambanya adalah pemilik hamba.
Seharusnya, kita gembira dengan hadis ini. Banyak orang islam yang lalai dalam melaksanakan perintah tuhan, masih diberi kesempatan dengan cara yang menyenangkan. Walaupun gembira dengan bulan ramadhan sebenarnya kalau diteliti lebih mendalam, juga tidak mudah. Banyak para santri gembira dengan ramadhan karena bisa pulang ke rumah masing-masing dan membuka hape dan internet. Banyak pedagang gembira dengan ramadhan, karena dagangannya banyak laku. Bahkan banyak yang susah juga dengan ramadhan karena harus puasa dan pekerjaannya berkurang yang mengakibatkan omsetnya juga berkurang. Orang yang bergembira dengan ramadhan itu sendiri menurut hemat penulis hanyalah pencari tuhan yang ingin mengolah batin di bulan ramadhan. Karena di bulan ramadhan inilah, para pencari tuhan menemukan momentumnya. Dan tentu saja, para pencari tuhan bukanlah orang yang menyepelekan ibadah yang lain.
Justru orang-orang yang menentang hadis ini, menurut hemat penulis adalah orang-orang yang semakin jauh dari Allah. Karena dia menghalangi orang-orang untuk gembira dengan bulan suci Ramadhan. Dia sendiri akan menciptakan sekat dalam dirinya untuk tidak gembira dengan datangnya ramadhan, karena kegembiraan terhadap ramadhan dianggap sebuah kepalsuan.