Di dunia yang serba cepat, suara kebaikan sering kali tertinggal di belakang. Di antara gemuruh media sosial dan derasnya arus informasi, siapa sangka bahwa dari balik tembok pesantren, muncul suara yang tenang namun kuat—suara santri. Bukan melalui orasi, bukan lewat panggung, tapi melalui tulisan.
Santri menulis, bukan untuk terkenal. Mereka menulis karena ingin berbagi. Tentang kehidupan sederhana di pesantren, tentang makna sabar saat harus berbagi nasi, tentang keikhlasan ketika harus mencuci baju sendiri, dan tentang keteguhan menjaga shalat malam meski kantuk menyerang. Di balik cerita kecil itu, ada nilai-nilai besar yang dunia sering lupakan.
Tulisan Santri Itu Jujur
Tidak semua tulisan butuh kata-kata indah atau istilah tinggi. Kadang, tulisan paling menggetarkan justru lahir dari kejujuran. Santri menulis dengan hati, karena mereka tidak terbiasa berpura-pura. Hidup mereka adalah latihan ikhlas setiap hari.
Tulisan santri bukan sekadar catatan pengalaman. Ia adalah potret kehidupan yang sarat makna. Ketika santri menulis tentang “sabar karena belum dijenguk orang tua”, itu lebih tulus dari ribuan kata motivasi. Ketika santri menulis tentang “bahagia karena bisa menyelesaikan satu kitab”, itu lebih nyata dari sekadar status pencapaian.
Bukan Sekadar Tugas, Tapi Dakwah
Menulis bagi santri bukan cuma tugas media atau PR pesantren. Menulis adalah bagian dari dakwah. Menyampaikan kebaikan melalui kata. Karena dakwah tak melulu lewat mimbar, kadang ia cukup lewat kalimat yang menggugah hati.
Dunia hari ini butuh lebih banyak tulisan yang membawa ketenangan, bukan kemarahan. Butuh lebih banyak cerita yang membangun, bukan menjatuhkan. Dan santri bisa menjadi pelakunya—dengan pena, bukan hanya pidato.
Menulis Itu Melatih Hati
Menulis juga cara santri berdialog dengan diri sendiri. Saat menulis, kita belajar jujur. Kita belajar berpikir jernih. Kita belajar menyampaikan pendapat tanpa menyakiti.
Tidak semua santri harus jadi wartawan. Tapi setiap santri bisa jadi penulis. Karena menulis bukan soal profesi, tapi soal keberanian menyampaikan apa yang diyakini benar.
Mulai dari Sekarang
Jangan tunggu jadi pintar dulu baru menulis. Justru dengan menulis, kita jadi berkembang. Ambil kertas, buka laptop, atau cukup ketik di ponsel. Tulis cerita hari ini. Tentang teman sekamar, tentang ustadz yang menginspirasi, tentang tantangan menghafal, atau tentang rindumu pada rumah.
Karena siapa tahu, tulisanmu yang sederhana bisa mengubah cara orang memandang pesantren. Dan siapa tahu, satu tulisan kecil dari santri bisa menyentuh hati ribuan orang di luar sana.
Sentuhan akhir
Dunia mungkin tidak mengenal semua santri. Tapi jika santri menulis, maka dunia akan tahu bahwa dari balik sarung dan peci, ada pemikiran yang dalam dan suara yang layak didengar. Maka tulislah—dan biarkan dunia mendengar.